Minggu, 07 April 2013

Cerpen : Suamiku TNI

Cerpen : Suamiku TNI
Aku selalu tersenyum di hadapan laki-laki ini. Aku tak ingin membuatnya terbebani. Apa-apa yang ia minta akan selalu kuturuti. Namun ia tak pernah memintaku macam-macam. Ia hanya memberiku ciuman di kening kala bibirnya masih lelah tuk berkata-kata. Aku tau bagaimana ia mencoba untuk menenangkan diri. Besok adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke lima. Namun suamiku harus bertugas ke daerah konflik. Rasanya sangat berat apabila tak kulewatkan moment penting itu bersamanya. Suamiku pun menginginkan hal yang sama. Tapi kami harus tetap teguh memegang prinsip. Darah suamiku sudah menjadi milik Negara. Dia tak melakukan itu demi mendapatkan gaji yang diperolehnya sebagai tentara. Cita-citanya sejak kecil amatlah mulia. Dia ingin membela bangsa. Membela tanah kelahirannya. 

Air mataku tak dapat berhenti mengalir tatkala menyaksikan sejumlah peristiwa miris pada tayangan televisi. Tidakkah konflik yang berkepanjangan ini mampu memaklumi bahwasanya perdamaian itu lebih indah dan abadi. Bukankah kita akan bahagia jika kita bisa hidup damai? Mengapa mereka lebih menyukai sebuah pertumpahan darah. Apa untungnya untuk bangsa kita? Bukankah pertumpahan darah akan menyisakan luka yang mendalam untuk berbagai pihak. Terutama kami, para istri TNI. 

Hatiku terasa remuk. Aku tak tahu kenapa tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Aku gelisah. Ingin kurebahkan tubuhku, namun aku tak mampu. Tak tahu sepertinya ada firasat buruk yang menimpaku. Kucoba untuk meminum segelas air putih, kemudian aku duduk kembali. Kupandangi foto-foto yang terpajang di dinding rumahku. Foto-foto saat aku dan suamiku masih berpacaran. Begitu romantis dan indah. Kadang aku merindukan masa-masa itu. Masa-masa tenang yang tak menggangguku. 

“Sayang.”panggilnya lirih. Tangannya menyentuh pundakku. Kemudian ia memelukku. Aku tak kuasa menahan tangisku. Perempuan memiliki firasat yang lebih kuat daripada laki-laki. Namun aku tak mau mencegahnya pergi. Kami sudah pernah berjanji untuk negeri ini. Kami sudah berjanji untuk memberikan segala yang kami miliki untuk mengabdi. Seperti aku, akan kurelakan suamiku, satu-satunya laki-laki yang kucintai. 

“Mas.”kupeluk balik suamiku. Terasa bahunya basah oleh air mataku. “Aku berjanji akan selalu mencintaimu. Aku berjanji mas.”

Suamiku mengelus bahuku. Kemudian ditatapnya mataku dalam-dalam. 

“Jangan khawatir Istriku. Aku akan selalu bersamamu. Dimanapun dan kapanpun.”ucapnya penuh ketegaran. 

 Aku semakin tak kuasa menahan kegundahanku. Kuciumi wajah dan tangan suamiku. Aku hanya ingin berbakti untuknya. Berbakti untuk negeri ini. Kuikuti hingga langkahnya menghilang di balik pintu. Aku menangis. Hatikupun pilu. Tak henti-hentinya kuucapkan dzikir melalui bibirku. Oh Tuhan, sabarkan aku. Sabarkan pilihanku. Sabarkan pula kecintaanku pada suamiku. 

Seiring waktu berjalan, semua telah berlalu. Tuhan benar-benar mengabulkan doaku. Dengan senyuman kupeluk foto suamiku tercinta. Janji Tuhan tak pernah diingkari. Suamiku memang telah gugur dalam tugasnya. Namun aku bangga. Aku bangga memiliki orang yang setia dan selalu mencintaiku. Aku bangga memiliki suami seteguh dirinya dalam bertempur membela Negara. Tuhan pun telah menyabarkanku. Meluluhkan hatiku dengan cara yang syahdu.

penulis: Anindya Gupita
sumber: http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2013/04/04/cerpen-suamiku-tni-548171.html

Tags #Fiksi   #Cerpen

0 komentar:

Posting Komentar